Revisi UU Polri: Ancaman Penyalahgunaan Wewenang dalam Spionase dan Sabotase

DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri sebagai inisiatif DPR yang memberikan kewenangan baru kepada Polri untuk menangani kegiatan spionase dan sabotase yang mengancam kedaulatan nasional. Perubahan ini dituangkan dalam Pasal 16 yang memperluas tugas Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri dalam pengumpulan informasi dan bahan keterangan atas permintaan berbagai lembaga pemerintah.

Ilustrasi polisi Photo by Tusik Only on Unsplash

Menurut draf yang didapatkan dari Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Achmad Baidowi, Polri akan memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi, dengan sasaran ancaman baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini meliputi ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional yang mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, serta sektor kehidupan masyarakat lainnya.

Namun, pengawasan siber yang termasuk dalam revisi UU ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh Polri. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dalam artikel tempo.co menyatakan bahwa penambahan wewenang ini bisa membuka peluang bagi Polri untuk melakukan abuse of power. "Ini (revisi UU Polri) jelas memberikan ruang yang sangat luar biasa besar dan potensial menjadi abuse of power oleh kepolisian," ujarnya . Isnur menegaskan bahwa fungsi penegakan hukum seharusnya berada di tangan hakim, dan Polri tidak seharusnya mengambil alih wewenang tersebut. "Polri, kata Isnur, tidak boleh melakukan eksekusi atau mengambil keputusan karena keputusan di tangan hakim," tambahnya .

Dikutip dari tempo.co, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sarah Nuraini Siregar, juga menyoroti risiko yang dapat timbul dari kemampuan Polri untuk memblokir dan memutus akses internet. Sarah menekankan bahwa pemutusan akses internet tanpa proses yang ketat dan persetujuan dari DPR bisa memicu resistensi publik dan mencerminkan praktik-praktik negara totaliter. "Ini akan berpotensi kontroversial dan resisten, terutama jika lesson-learned kasus blokir akses internet di Papua pada 2019 terulang," ujar dia . Ia mengingatkan tentang kontroversi pemblokiran internet di Papua pada tahun 2019 yang berujung pada gugatan hukum dan keputusan pengadilan yang menyatakan tindakan tersebut tidak sah. "Seharusnya kontennya yang di-take down, bukan akses internet," ucap Sarah.

Isnur juga mengkritik tumpang tindih kewenangan yang akan terjadi jika Polri diberi wewenang untuk mengawasi ruang siber, yang sudah menjadi tanggung jawab Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). "Kepolisian hendak mengambil kewenangan BSSN," kata Isnur. "Pengawasan ruang siber juga sebenarnya sudah menjadi kewenangan beberapa kementerian atau lembaga," jelasnya . Pengawasan ruang siber yang berlebihan oleh Polri dapat memperburuk masalah koordinasi antar lembaga dan meningkatkan potensi untuk represi terhadap kebebasan berpendapat.

Persetujuan DPR untuk revisi UU Polri sebagai inisiatif ini mengundang berbagai reaksi dari masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah yang khawatir terhadap implikasi dari penambahan wewenang Polri. Pembahasan lebih lanjut mengenai RUU ini akan berlangsung di badan legislatif DPR RI, di mana berbagai pihak diharapkan untuk memberikan masukan demi menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan kebebasan sipil.

Posting Komentar

0 Komentar